Jumat, 05 April 2013

CIA & Perang Melawan Terorisme

CIA & Perang Melawan Terorisme


Perang Dingin yang berlangsung selepas Perang Dunia II dan baru berakhir pada 1991 tepat tatkala Uni Soviet runtish, seolah telah “memberi jalan” kepada CIA untuk meraih ketenaran namanya. Mereka dipuji karena berkat perjuangan yang gigih dari para perwira intelijennya yang tersebar di berbagai negara, telah berhasil meredam ambisi komunis Uni Soviet yang digambarkan seolah ingin menguasai dunia.

"Perang ini tak akan berakhir sampai semua kelompok teroris di dunia ditemukan, dihentikan dan dikalahkan!" Demikian Presiden George W. Bush menyatakan perang terhadap teroris, sembilan hari setelah Peristiwa 9/11. Bersama Direktur CIA di masa serangan itu terjadi, George Tenet
Dalam konteks perang informasi, pernyataan tersebut memang telah menjadi semacam retorika. Sebab, tanpa musuh yang besar, mustahil dunia akan mau mengakui kehebatan operasioperasi rahasia yang mereka gelar. Dalam buku CIA: Dinas Intelijen Paling Berpengaruh di Dunia ini Anda di antaranya akan kami ajak mengikuti debut para perwira CIA, yang dengan berbagai trik dan keberaniannya, berupaya menggagalkan serangan global Soviet.
Bagaimana pun, dalam kaitan ini, CIA harus ditempatkan sebagai salah satu senjata rahasia AS yang amat strategis. Dunia mulai takut terhadap rencana komunis Soviet setidaknya setelah Walter Bedell Smith, salah satu direktur dinas, mengatakan, “Hanya dua tokoh yang tahu (tentang Kremlin). Satu, Stalin, dan yang kedua, Tuhan. Tapi saya tidak yakin apakah Tuhan mau memberitahu Pa-man Joe (sebutan untuk Amerika) tentang Uni Soviet diposisikan sebagai raksasa yang amat mengancam. Sehingga, siapa saja yang berhasil mengalahkannya akan dianggap sebagai superpower – raksasa yang memiliki kekuatan sekaligus kekuasaan yang mendunia. Pada 1991, dunia tiba-tiba dikejutkan oleh keruntuhan negeri ini yang dengan sendirinya menutup ketegangan Perang Dingin antara Blok Timur dan Blok Barat.
Uniknya, kehancuran Uni Soviet justru membawa konse-kuensi baru bagi AS dan CIA. Setelah itu mereka menghadapi musuh yang sesungguhnya jauh lebih kecil namun mematikan. Hanya dalam beberapa tahun pertempuran, Amerika sudah mengalami penderitaan yang sangat segnifikan. Sosoknya mirip bakteri, lemah jika berdiri sendiri, namun akan lebih kuat dari tentara Rusia ketika jaringannya menyebar ke seantero dunia.
Nama musuh baru itu adalah Al Qaeda. CIA sebenarnya telah mengendus kehadiran mereka sejak 1980-an. Osama bin Laden, sang pemimpin Al Qaeda, beberapa kali terbidik kamera pengintai di wilayah Sudan negara di Afrika yang dikenal sebagai rumah pembersihan internasional bagi teroris yang tak memiliki negara. Namun, CIA tak pernah ingin menangkapnya karena yang bersangkutan ikut membantu perjuangan orang-orang Afghanistan yang ingin mengusir tentara Uni Soviet.
CIA toh bukan institusi yang tabu untuk diketahui publik. Beberapa kali mereka buka stand agar warga AS mengetahui kebutuhan dan kepentingan mereka. Salah satu yang kini dibutuhkan adalah warga negara asli yang mampu beradaptasi dengan berbagai budaya, dan mau bekerja untuk CIA.
Bin Laden mulai menjadi duri dalam daging ketika kaki-tangannya berhasil melakukan serangan teroris ke tanah Amerika pada 11 September 2001. Berbagai upaya pun dilakukan untuk memburu bangsawan Arab yang menaruh simpati pada orang-orang yang punya visi besar menghancurkan musuh-musuh Islam ini. Atas serangan berdarah yang meruntuhkan gedung-gedung simbol perdagangan dan pertahanan dunia itu, Presiden George W. Bush mengobarkan perang yang baru. Perang yang tanpa disadarinya justru berbuntut luruhnya kredibilitas CIA dan Gedung Putih. “Perang ini tak akan berakhir sampai semua kelompok teroris dunia ditemukan, dihentikan dan dikalahkan!” tegas Bush, waktu itu, sembilan hari setelah kejadian 9/11.
Jika nama CIA pernah tenar karena dianggap berhasil menundukkan komunis Uni Soviet, selanjutnya giliran Al Qaeda menuai nama yang mendunia karena berhasil mempecundangi CIA dan tentara AS. Meski perburuan ini didukung persenjataan canggih, born-born presisi tinggi, pesawat tanpa awak dengan kamera superjeli, dan pengerahan pasukan elit, Bin Laden tetap tak tertangkap.
Keseimbangan moral
Direktur CIA saat itu, George Tenet, sebenarnya sudah cemas dengan keadaan internal CIA yang di matanya sudah mencemaskan. CIA sudah kehilangan 3.000 orang terbaiknya, yang mana 20 persen di antaranya merupakan matamata senior, analis, ilmuwan dan ahli teknologi. Belakangan, seribu agen rahasia berpengalaman ikut mengundurkan diri, sehingga hanya menyisakan sekitar 1.000 orang dalam tubuh dinas rahasia ini.
Serangan teroris ke gedung kembar WIC pada 11 September 2001 di New York
Untuk membentuk kekuatan yang baru sayangnya tak mudah. Akibatnya, ke depan, CIA sepertinya akan menghadapi berbagai masalah dan menuai kejadian yang mengejutkan. Beberapa direktur kerap mengatakan hal sama, bahwa diperlukan waktu lima-tujuh tahun untuk membangun kekuatan baru. Namun, hal itu tampak sulit dikejar karena sulit sekali mencari warga negara asli yang mampu beradaptasi dengan berbagai budaya, dan yang benarbenar ingin bekerja untuk CIA.
“Seorang mata-mata yang baik harus tahu bagaimana melakukan penipuan, memanfaatkan manipulasi, dan tentu saja melakukan kebohongan dalam menjalankan tugasnya. Di lain pihak, dia juga harus mampu menjaga keseimbangan moral,” begitu kata Jeffrey Smith, penasihat umum CIA pada pertengahan tahun 1990-an. (Legacy of Ashes the History of CIA, 2007) Sebagai akibat budaya yang dangkal, CIA semakin kerap salah membaca dunia. Sedikit sekali agen yang bisa membaca atau berbicara dalam bahasa Tionghoa, Korea, Arab, Hindi, Urdu atau Parsi – bahasa yang dipakai oleh sekitar tiga miliar orang atau separuh dari penduduk planet Bumi. Dinas, misalnya, tidak bisa mengirim seorang keturunan Arab-Amerika ke Korea Utara tanpa dikenali sebagai seorang anak Amerika.
Kini, seperti juga kebanyakan orang Indonesia, mayoritas penduduk AS telah banyak melupakan ketegangan 9/11 sehingga kurang waspada. Untuk itu Michael Hayden, Direktur CIA (2006-2009) selalu mengajak setiap staf memahami bahwa setiap hari adalah tanggal 12 September 2001. Tak seperti kebanyakan penduduk AS yang selalu memahami setiap hari sebagai tanggal 10 September 2001. Akan tetapi, hari-hari yang dipenuhi kewaspadaan itu toh bisa mencekik leher sendiri setiap kali ada warga AS yang mempertanyakan segi moralitas interogasi yang dilakukan di kamp-kamp tawanan superketat, seperti di Guantanamo.
Perburuan terhadap Osama bin Laden dan Al Qaeda telah mencuatkan perang yang berkepanjangan. Bahkan lebih panjang -dari yang pernah dihadapi CIA ketika menghadapi komunisme Uni Soviet di masa Perang Dingin
Warga AS mungkin bukannya tidak peduli dengan ancaman teroris. Namun, seperti dikatakan mantan Menteri Luar Negeri Colin Powell, yang kini harus dijelaskan adalah seperti apa ancaman itu? “Orang mungkin akan menjawab terorisme. Namun apakah teroris bisa mengubah cara hidup orang Amerika atau sistem politik kita? Tidak. Bisakah mereka merobohkan gedung lagi? Ya. Bisakah mereka membunuh orang? Bisa. Tetapi bisakah mereka mengubah hidup kita? Tidak. Hanya kita yang bisa mengubah diri kita sendiri. Satu-satunya yang bisa menghancurkan kita adalah kita sendiri. Kita seharusnya tidak melakukan itu terhadap diri kita sendiri. Kita tidak semestinya memanfaatkan rasa takut untuk tujuan-tujuan politik – mengancam keselamatan orang agar mereka memilih Anda, atau mengancam orang sehingga kita bisa membuat sebuah kompleks industri teror,” tukas Powell mengritik kebija kan AS tentang perang melawan terorisme.
Dalam catatan penutupnya di Legacy of Ashes the History of CIA, Tim Weiner menyatakan dengan tajam, bahwa pasukan AS telah masuk (mungkin juga terjebak) ke dalam peperangan yang jauh lebih lama dari Perang Dunia II. Peluang untuk menang secara militer amat kecil, sementara tujuan-tujuan politik dari perang tersebut tetap tak terjangkau. Empat ribu warga Amerika tewas dan puluhan ribu lain terluka, baik tubuh maupun jiwanya.
Hari ini, tambahnya, 10 tahun setelah CIA menyatakan perang terhadap Osama bin Laden, teroris Arab itu masih bebas. Pasukannya berkumpul kembali di Pakistan. Sementara, AS justru kian tercemar oleh penanganan kontraterorismenya. “Dunia mulai meragukan dasar mon perjuangan kita melawan terorisme,” ujar mantan Menteri Luar Negeri Colin Powell mengingatkan. Apakah ini akhir ketenaran CIA?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar