Jumat, 05 April 2013

Menjelajah Lembah X

Menjelajah Lembah X


Lembah-lembah di Papua sampai saat ini masih menyisakan misteri. Apalagi setengah abad lalu, lembah-lembah yang masih tak benama itu dihuni suku-suku terbelakang, yang jauh dari peradaban dunia.
Lembah yang penuh misteri itu mengundang minat Pierre Dominique Gaisseau, seorang sutradara film dokumenter berkebangsaan Perancis. Awal ketertarikannya adalah ketika ia melakukan pengamatan dari udara di pegunungan Prince van Orange (pegunungan Jaya Wijaya), ia menemukan sebuah lembah di tengah rimba belantara. Lokasi lembah itu jauh di utara puncak Iuliana (puncak Jaya), pada ketinggian 1.500meter-2.700 meter.
Pada tahun 1959, ia memang pernah ke Irian Barat, setelah mendapat kontrak dari NBC, New York, untuk membuat film antror pologi suku pedalaman di sana. Ia memberi judul film karyanya itu Dominique Gaisseau, The Sky Above, The Mud Below, yang mendapat Oscar untuk film documenter pada tahun 1962. Film tentang suku terasing itu menghasilkan keuntungan 4 juta dollar AS.
Salah satu pesawat DHC-6 Twin Otter milik Merpati Nusantara Airlines yang tadinya akan digunakan dalam penerjunan (bawah). Foto Insert adalah pesawat DC-3 Dakota sejenis yang akhirnya digunakan dalam penerjunan
Sebelum meninggalkan Irian Barat itulah, Gaisseau tertarik pada lembah di tengah rimba belantara tersebut. Lembah itu menurut perkiraannya dihuni oleh sekitar 5.000 penduduk suku terasing. Karena belum diketahui namanya, lembah itu disebut saja “Lembah X”. Ia pun mendapatkan kontrak lagi dari NBC untuk membuat film antropologi budaya Lembah X, yang akan ia beri judul Life as Before.
“Liputan yang menantang bahaya mempunyai daya tarik tersendiri. Fantastic adventure!” ungkap Gaisseau
Operasi Bhakti
Pada 5 Mei 1969, Gaisseau berangkat ke Irian Barat. Kemudian pada 25 Mei tahun yang sama, ia menemui Pangdam XVII/Tjenderawasih, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo, untuk meminta izin membuat film di Lembah X. Pangdam meluluskan permintaan tersebut dan memutuskan untuk menjadikannya ekspedisi gabungan antara Operasi Bhakti Kodam XVII/Tjenderawasih bersama dengan NBC. Sehubungan dengan keputusan itu, Pangdam mengeluarkan Perintah Operasi Nomor 009 untuk menerjunkan satu tim ABRI bersama tim NBC ke Lembah X.
Operasi bakti itu merupakan operasi kemanusiaan untuk memberikan sumbangan nyata dalam membangun kehidupan yang lebih maju bagi penduduk Lembah X. Tim ini akan menghimpun dan menyusun data ilmiah bidang etnologi dan antropologi budaya untuk bahan penelitian dan pengembangan.
Tim Baret Merah Angkatan Darat dibentuk dengan komandan tim, Kapten Inf. Feisal Edno Tanjung. Anggota tim adalah Lettu Sintong Panjaitan sebagai perwira operasi; Kapten Cdm. Dr. Bondan Haryono, pen/vira kesehatan; Kapten Drs. Hadiritma, perwira sosial budaya; Capa Marwoto, perwira perhubungan; Sersan Mayor Suparmin, bintara logistik; dan Koptu Solichin, penghubung. Ada juga perwira Kodam XVII/ Tjenderawasih, Kapten Azhim Zahif sebagai wakil komandan tim dan Lettu CZi Agung Harmono, perwira Zeni.
Kemudian Letnan Sintong meminta anggota tim ditambah dengan dua anggota ABRI putra Irian Barat berkualifikasi para, yang kemudian ditugaskan Prada Mami dan Prada Derek Vugu. Dua tamtama kelahiran desa di lereng Iaya Wijaya ini diharapkan dapat mengetahui bahasa penduduk Lembah X.
Sementara dari NBC, selain Gaisseau sebagai sutradara dan juru kamera, juga Harvey de Mei- grid sebagai juru suara dan penulis naskah, serta Nicholas Gaisseau yang berusia 17 tahun, putra Gaisseau, sebagai asisten. Selanjutnya bergabung Peter Prescott Iennings, mantan penerjemah Fernando Ortiz Sanz, utusan khusus Sekjen PBB untuk mengawasi Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat.
Jennings adalah mahasiswa jurusan antropologi Universitas Hawaii, yang baru tiga kali terjun payung. Ia menyampaikan keinginannya kepada Kapten Tanjung untuk ikut Tim Ekspedisi Lembah X dengan pertimbangan lebih baik ikut operasi kemanusiaan ini daripada balik ke Amerika Serikat dan dikirim ke Perang Vietnam. Komandan tim mengabulkan permintaan Jennings, yang mendapat dukungan Gaisseau.
Pada Juni 1969, Hendro Subroto, seorang wartawan perang, dipanggil oleh Sarwo Edhie ke kediamannya di Kompleks Korps Baret Merah, Cijantung, Jakarta. Malam itu Pangdam member gambaran tentang ekspedisi ke Lembah X, yang diproyeksikan akan dimulai pada 12 September atau 26 September 1969. “Hen, masa di negara kita ini membuat film suku terasing di daerah pedalaman Irian Barat mesti dilakukan oleh orang asing. Apakah kita sebagai bangsa Indonesia tidak merasa malu? Apakah bangsa kita sendiri tidak mampu melaksanakannya?” tanyanya. “Atas seizin Jenderal, jika diperkenankan saya mohon ikut serta,” jawab Hendro.
“Surat perintah untukmu sudah saya buat, tetapi belum saya tandatangani. Saya ingin kamu ikut secara sukarela, bukan atas perintah,” kata Sam/0 Edhie, sambil mengeluarkan surat perintah dari map, yang langsung ditandatanganinya. Hendro pun bergabung dengan Tim Ekspedisi Lembah X, sebagai sutradara, juru kamera, dan penulis naskah untuk TVRI.
Terbang dengan Dakota
Kapten Feisal Tanjung sebagai Komandan Tim Lembah X membantu Lettu Sintong Panjaitan dalam persiapan parasut dan peralatan di lapangan terbang Sentani Jayapura.
Hari-H itu ternyata tanggal 2 Oktober 1969. Pada pukul 06.00, 16 anggota tim telah siap di Lapangan Terbang Sentani, 40km arah barat daya kota Iayapura. Satu jam digunakan untuk mempersiapkan peralatan dan perlengkapan. Hendro mengemas perlengkapan untuk operasionalnya dalam ransel yang akan dibawanya terjun. Ada dua kamera 16mm, tiga kamera foto, satu tape recorder, dan sejumlah film 16mm dan 120mm. Iajuga membawa senjata pistol Colt 45mm, seperti yang selalu digunakan Iohn Wayne dalam setiap film perangnya; dari lwojima sampai The Longest Day, dan pisau hutan.
Sebelum hari-H, Letnan Sintong sebagai perwira operasi sudah empat kali melakukan orientasi medan dari udara di atas Lembah X dan sekitarnya. Bersama Gaisseau, ia melakukan survey udara dengan pesawat Cessna-206 Skywagon milik MAP (Mission Aviation Fellowship). Mereka menyusuri sungai di unexplored area yang banyak jeram menuju sungai Indenberg sampai sungai Memberamo, yang dapat dilayari sejauh 50 km ke arah hulu.
Ternyata tidak mudah mendapatkan pesawat yang dapat dicarter untuk ekspedisi ini. Awalnya dijajaki pesawat DHC-6 Twin Otter milik Merpati Nusantara. Namun secara teknis pesawat ini sulit digunakan untuk penerjunan. Di samping itu, dalam persyaratan pembeliannya dari Kanada, tidak disebutkan bahwa pesawat dapat digunakan untuk kepentingan Operasi militer. Walaupun ekspedisi itu bersifat kemanusiaan, tapi sebagian besar pelakunya adalah anggota militer.
Akhirnya diperoleh pesawat Dakota milik Garuda Indonesia Airways yang dioperasikan Merpati. Sebelum digunakan pada hari H, pesawat ini dioperasikan juga untuk melakukan satu kali survei dari udara.
Menjelang penerjunan, Letnan Sintong mempersiapkan parasut utama T-10 dan paying cadangan T-7A. Pesawat Dakota dimodifikasi agar kabinnya seperti C-47 Dakota versi militer untuk penerjunan. DC-3 tak memiliki mounting dan kabel baja untuk mengaitkan strob parasut personel dan barang. Ia pun menggunakan kabel baja jemuran yang dipinjamnya dari lapangan terbang Sentani.
Ujung baja untuk mengaitkan strob cli ujung static line parasut hanya diikatkan pada kaki kursi ujung depan clan belakang bagian kanan. Kursi-kursi di tengah sisi kanan sudah dilepas, tapi yang di sisi kiri tidak dilepas. Modifikasi clianggap aman menurut perwira operasi, sehingga pesawat layak terbang. Pada pukul 07.15, Kapten Tanjung melaporkan kesiapan tim untuk diterjunkan ke Lembah X. Sarwo Edhie berpesan agar seluruh anggota tim selalu siap menghadapi keadaan yang paling buruk.
Pada pukul 07.30, pesawat Dakota yang diterbangkan Capt. Bonar Siahaan terbang menembus awan ke arah timur laut. Waktu pener- bangan ke dropping zone (DZ) di Lembah X sekitar satu jam. Semua anggota tim duduk di lantai pesawat di sisi kanan, yang terasa tidak nyaman. Untuk duduk di kursi dengan menggunakan parasut terasa seinpit. Pintu pesawat juga sempit, sehingga posisi peterjun harus membungkuk untuk keluar. Namun the show mustgo on, anggota tim harus siap terjun.
Pada bulan Oktober merupakan awal musim hujan di Irian Barat, tapi di pegunungan boleh dibilang sudah hujan setiap hari. Pesawat pun sempat diguyur hujan, walau kemudian cuaca menjadi cerah dengan keadaan awan rata-rata 2/8. Dilihat dari udara, daerah pegunungan itu sangat luas dan diselimuti hutan belantara. Pada waktu itu, hutan tropis seluas 31 juta hektare masih menutupi lebih dari 70 persen permukaan daratan lrian Barat. Mendekati Lembah X, cuaca makin membaik dengan jarak pandang sekitar 10 mil dan awan 1/8.
Siap Terjun
Bel berdering pendek tiga kali, menandakan pesawat sudah berada di atas Lembah X. Semua anggota tim berdiri berurutan, sesuai stick masing-masing. Capa Atang Ismail, dispatcher, tiarap di lantai  esawat sambil menju lurkan kepalanya ke luar pintu untuk mendapatkan pandangan  lebih cermat ke DZ. Streamer yang clijatuhkannya menunjukkan arah angin dengan kecepatan sekitar 10 knot di lembah yang dikelilingi pegunungan, tapi tidak menentu dan berubah-ubah di berbagai ketinggian. Sarwo Edhie, yang juga peterjun bebas, mengenakan parasutfreefall di punggung dan bertindak sebagai jump master.
Stick-1 siap terjun. Pada run pertama ini acla enam orang yang akan terjun secara berurutan: Letnan Sintong, Gaisseau, Harvey, Nicholas, Capa Marwoto, dan Prada Derek Vugu. Letnan Sintong, peterjun yang berkualifikasi free fall, siap di ambang pintu. Sebelum terjun, ia teringat desas-desus tentang Michael Rockefeller, putra  raja minyak AS, yang inelakukan ekspedisi ilmiah ke daerah Asmat.
Asmat memiliki kekayaan akan karya ukir yang erat kaitannya dengan peristiwa ritual dan mitos. Usai ekspedisi ia tak kembali ke negaranya, tapi melakukan penjelajahan lagi. Namun kemudian ia hilang di pedalaman. Dalam pencariannya, hanya ditemukan sebelah sepatu dan sepotong kaki. Letnan Sintong berkata dalam hati, “jangan-jangan nanti setelah mendarat, saya dikeroyok oleh suku Lembah X, kemudian dimakan rame-rame.”
Beberapa saat setelah pesawat Dakota melintas di atas DZ, bunyi bel berdering panjang, tanda penerjunan dimulai. Capa Atang memberikan aba-aba dengan menepuk payung utama di punggung Sintong sambil berteriak, “Go !”. Letnan Sintong menerjang ke luar dari ketinggian 7.500 kaki 8.50O kaki dan diikuti oleh lima anggota stick-1 lainnya. Nicholas yang baru satu kali terjun paying di Perancis tampak agak canggung ketika melompat ke luar pesawat.
Stick-2 maju ke arah pintu dan Kapten Tanjung siap terjun.  “Kapten, rasanya arah pesawat kita kurang ke kanan,” kata Hendro. “Ya, memang masih kurang ke kanan,” jawabnya. Capa Atang kemudian memberi isyarat kepada Sarwo Edhie menunjukkan empat jari dengan ibu jari yang digerak kan ke kanan. Isyarat koreksi arah 4 derajat ke kanan yang diterima Sarwo Eclhie itu kemudian diteruskan kepada Capt. Bonar. Bunyi bel berdering panjang lagi. Capa Atang berteriak, “Go!” Kapten Tanjung menerjang, diikuti Hendro, yang melompat dengan menendangkan kaki kanan ke depan sejauh-jauhnya. Lalu Jennings, dr. Bondan, dan Solichin. Stick-3, dengan anggota Kapten Azhim, Kapten Hadiritma, Letnan Agung, Serma Suparmin, dan Prada Mami, siap terjun.
Penerjunan ini merupakan terjun statik pada ketinggian paling tinggi yang pernah dilakukan di Indonesia. Setelah parasut T-10 mengembang , udara terasa sejuk dan segar. Suasananya sunyi. Di bawah tampak lembah yang mem bentang luas; cliperkirakan berada di ketinggian 6.000 kaki – 7.000 kaki, Lembah yang dihampari rumput .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar